Price Parity Clause: Risiko Hukum dalam Perspektif Hukum Persaingan Usaha di Indonesia

Pelaku usaha yang menggunakan price parity clause dalam kontraknya perlu mewaspadai potensi pelanggaran terhadap hukum persaingan usaha di Indonesia. Meskipun belum ada regulasi yang secara khusus mengatur klausul ini, ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tetap berlaku dan dapat menjerat praktik-praktik kontraktual yang bersifat anti-kompetitif.

Apa Itu Price Parity Clause?

Price parity clause atau PPC merupakan klausul dalam kontrak yang mewajibkan penjual untuk tidak menawarkan harga lebih rendah atau syarat lebih baik di kanal penjualan lain, seperti situs web mereka sendiri, toko offline, atau platform digital lainnya.

Contohnya, penyedia hotel yang menandatangani perjanjian dengan platform OTA tidak boleh menjual kamar dengan harga lebih murah di situs resminya. Meskipun klausul ini tampak netral, kenyataannya dapat membatasi pilihan harga bagi konsumen dan menghambat persaingan antar kanal distribusi.

Apakah Price Parity Clause Legal di Indonesia?

Sampai saat ini, tidak ada peraturan perundang-undangan di Indonesia yang secara spesifik mengatur price parity clause. Namun, pelaku usaha harus memahami bahwa klausul tersebut dapat menimbulkan risiko pelanggaran hukum persaingan usaha, terutama jika menimbulkan efek pembatasan harga atau penyalahgunaan posisi dominan.

Price Parity Clause dan Larangan Penetapan Harga

Pasal 5 ayat (1) UU 5/1999 secara tegas melarang pelaku usaha membuat perjanjian dengan pesaing untuk menetapkan harga atas barang atau jasa. Meskipun PPC tidak dibuat bersama pesaing, klausul ini bisa mengakibatkan efek serupa karena menciptakan keseragaman harga di berbagai kanal.

Akibatnya, tekanan kompetitif menjadi lemah, dan pelaku usaha kehilangan insentif untuk menurunkan harga. Jika praktik ini meluas, konsumen akan kesulitan menemukan penawaran terbaik, dan efisiensi pasar pun terganggu.

Price Parity Clause dan Penyalahgunaan Posisi Dominan

Pasal 25 UU 5/1999 melarang pelaku usaha menggunakan posisi dominan untuk menetapkan syarat perdagangan yang menghalangi persaingan. PPC sering kali digunakan oleh pelaku usaha yang memiliki pangsa pasar besar untuk membatasi penjual menawarkan harga lebih rendah di luar platformnya.

Menurut hukum Indonesia, pelaku usaha dianggap dominan jika:

  • Menguasai minimal 50% pangsa pasar untuk satu jenis barang atau jasa; atau
  • Dua hingga tiga pelaku usaha bersama-sama menguasai 75% pangsa pasar.

Dalam kondisi seperti itu, penerapan price parity clause dapat dianggap sebagai bentuk penyalahgunaan posisi dominan, karena mengunci akses pasar bagi pesaing baru dan mencegah inovasi harga.

Apa Sanksi atas Pelanggaran Tersebut?

Pelaku usaha yang terbukti melanggar ketentuan Pasal 5 atau Pasal 25 UU 5/1999 akan dikenai sanksi administratif oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Berdasarkan Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 47 UU 5/1999, KPPU dapat menjatuhkan sanksi berupa:

  • Perintah menghentikan praktik yang melanggar hukum persaingan usaha;
  • Pembatalan perjanjian atau klausul yang bertentangan dengan prinsip persaingan sehat.

Selain itu, KPPU juga berwenang mengumumkan pelanggaran tersebut kepada publik sebagai bentuk pencegahan.

Kesimpulan: Perlu Waspadai Penggunaan Price Parity Clause

Pelaku usaha yang menggunakan price parity clause dalam perjanjiannya harus berhati-hati. Meskipun klausul ini sah menurut hukum kontrak, penerapannya dapat melanggar hukum persaingan usaha, terutama jika menghalangi penjual menawarkan harga yang lebih kompetitif.

Oleh karena itu, pelaku usaha sebaiknya:

  • Mengevaluasi ulang klausul PPC dalam perjanjian komersial;
  • Memastikan klausul tersebut tidak membatasi pilihan harga secara tidak wajar;
  • Berkonsultasi dengan penasihat hukum sebelum menerapkannya dalam skala luas.

Dengan langkah tersebut, pelaku usaha dapat memitigasi risiko hukum sekaligus menjaga iklim persaingan yang sehat di pasar Indonesia.

Telusuri Lebih Lanjut