Siapa yang Berwenang Mengajukan Gugatan ke Pengadilan Pajak?

Berdasarkan ketentuan dalam undang-undang, pihak yang berwenang untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak adalah wajib pajak atau penanggung pajak. Artinya, bukan otoritas pajak seperti Direktorat Jenderal Pajak yang dapat menggugat wajib pajak, melainkan sebaliknya.

Landasan Hukum Gugatan oleh Wajib Pajak

Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 Undang-Undang tentang Pengadilan Pajak, yang menyatakan bahwa Pengadilan Pajak merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman yang berfungsi memberikan keadilan kepada wajib pajak atau penanggung pajak dalam menyelesaikan sengketa pajak.

Lalu, undang-undang mendefinisikan sengketa pajak sebagai perselisihan antara wajib pajak atau penanggung pajak dengan pejabat berwenang akibat diterbitkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan ke Pengadilan Pajak Undang-undang menjelaskan bahwa wajib pajak atau penanggung pajak dapat menggugat pejabat berwenang jika pejabat tersebut menerbitkan keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan ke Pengadilan Pajak, sehingga timbul sengketa pajak. Termasuk di dalamnya adalah gugatan atas pelaksanaan penagihan pajak.

Siapa yang Dapat Mengajukan Gugatan?

Pasal 41 ayat (1) menetapkan bahwa pihak yang dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak adalah:

  • Penggugat (wajib pajak atau penanggung pajak),
  • Ahli waris penggugat,
  • Pengurus badan hukum,
  • Kuasa hukum.

Namun, penggugat harus menyertakan alasan yang jelas dan melampirkan dokumen pendukung, seperti salinan keputusan yang digugat dan tanggal penerimaan keputusan tersebut

Dalam hal ini, Pasal 1 angka 7 UU Pengadilan Pajak secara eksplisit mendefinisikan “penggugat” sebagai wajib pajak atau penanggung pajak.

Direktorat Jenderal Pajak Tidak Berwenang Menggugat

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa otoritas pajak tidak memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan dalam sengketa di Pengadilan Pajak. Ketentuan ini menegaskan bahwa Pengadilan Pajak hanya memeriksa gugatan dan banding yang diajukan oleh wajib pajak terhadap tindakan atau keputusan otoritas pajak, sesuai dengan kompetensi absolutnya..


Sanksi bagi Wajib Pajak yang Tidak Membayar Pajak

Pertanyaan berikutnya, apa konsekuensinya jika wajib pajak tidak membayar pajak? Jawabannya terdapat dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 61 Tahun 2023.

Tindakan Penagihan Pajak

Jika wajib pajak tidak melunasi utang pajaknya setelah jatuh tempo, maka otoritas pajak dapat melakukan serangkaian tindakan penagihan, yaitu:

  1. Penerbitan surat teguran – untuk mengingatkan wajib pajak agar segera melunasi utang pajaknya;
  2. Surat perintah penagihan seketika dan sekaligus;
  3. Surat paksa – yang memerintahkan pembayaran utang dan biaya penagihan;
  4. Penyitaan atas aset milik wajib pajak;
  5. Penjualan barang hasil sitaan;
  6. Usulan pencegahan ke luar negeri, yaitu larangan sementara bagi penanggung pajak untuk meninggalkan wilayah Indonesia;
  7. Penyanderaan (gijzeling), yaitu pembatasan kebebasan sementara terhadap penanggung pajak.

Ambang Batas Nilai Utang

Lalu, apakah ada batasan nilai utang pajak untuk dilakukan tindakan tersebut?

Secara umum, tidak ada pembatasan nominal utang untuk tindakan seperti surat teguran atau penyitaan. Namun, untuk tindakan pencegahan dan penyanderaan, utang pajak minimal harus sebesar Rp100 juta. Selain itu, juga harus terdapat keraguan terhadap iktikad baik dari penanggung pajak dalam melunasi utangnya.

Pembuat undang-undang mengatur ketentuan ini dalam:

  • Pasal 29 dan Pasal 33 ayat (1) UU Penagihan Pajak,
  • Jo. Pasal 55 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) PMK 61/2023.

Kesimpulan

Dari seluruh uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa:

  • Hanya wajib pajak atau penanggung pajak yang dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak.
  • Direktorat Jenderal Pajak tidak dapat menggugat wajib pajak di Pengadilan Pajak.
  • Apabila wajib pajak tidak membayar utangnya, ia berisiko dikenai berbagai tindakan penagihan oleh otoritas pajak. Tindakan ini dapat berupa penyitaan aset, larangan bepergian ke luar negeri (pencegahan), hingga penyanderaan (gijzeling)

Dengan memahami ketentuan ini, wajib pajak diharapkan dapat bersikap proaktif dalam menyelesaikan kewajiban perpajakannya agar terhindar dari sanksi administratif maupun hukum.

Telusuri Lebih Lanjut