Putusan Bebas dan Putusan Lepas dalam Hukum Acara Pidana Tiga Jenis Putusan dalam Perkara Pidana Pengadilan dalam perkara pidana dapat menjatuhkan tiga jenis putusan, yaitu: Pasal 191 ayat (1) KUHAP mengatur putusan bebas. Dalam ketentuan ini, pengadilan memutus bebas jika hasil pemeriksaan di sidang menunjukkan bahwa kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Penjelasan pasal tersebut menjelaskan bahwa perbuatan yang tidak terbukti sah dan meyakinkan berarti hakim menilai tidak cukup bukti yang sah menurut ketentuan hukum acara pidana. Sebaliknya, Pasal 191 ayat (2) KUHAP mengatur putusan lepas. Pengadilan menjatuhkan putusan lepas jika terbukti bahwa terdakwa melakukan perbuatan sebagaimana dakwaan, namun perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana. Yahya Harahap menjelaskan bahwa dasar dari putusan lepas terletak pada kenyataan bahwa perbuatan terdakwa yang terbukti tersebut berada dalam ranah hukum perdata, hukum adat, atau hukum lainnya di luar hukum pidana. Selanjutnya, Pasal 193 ayat (1) KUHAP mengatur putusan pemidanaan. Pengadilan menjatuhkan pidana jika menemukan bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sesuai dakwaan. Perbedaan Antara Putusan Bebas dan Putusan Lepas Perbedaan utama antara putusan bebas dan putusan lepas terletak pada aspek hukum pembuktian. Lilik Mulyadi dalam bukunya Hukum Acara Pidana menjelaskan bahwa: Upaya Hukum terhadap Putusan Bebas KUHAP membedakan dua jenis upaya hukum, yaitu: Namun, hukum tidak memperbolehkan pengajuan banding terhadap putusan bebas. Pasal 67 KUHAP secara tegas menyatakan bahwa terdakwa atau penuntut umum tidak dapat mengajukan banding atas putusan bebas atau lepas, kecuali dalam perkara tertentu seperti acara cepat atau penerapan hukum yang kurang tepat. Selain itu, pihak yang berperkara tidak dapat mengajukan PK terhadap putusan bebas. Pasal 263 ayat (1) KUHAP, sebagaimana Mahkamah Konstitusi tegaskan dalam Putusan Nomor 33/PUU-XIV/2016, secara tegas membatasi PK hanya untuk putusan yang berkekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas dan putusan lepas. Meski begitu, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 114/PUU-X/2012 membolehkan pengajuan kasasi terhadap putusan bebas. Oleh karena itu, pihak penuntut umum dapat mengajukan kasasi terhadap putusan bebas, sementara banding dan PK tetap tidak dapat mereka tempuh. Ask ChatGPT Upaya Hukum terhadap Putusan Lepas Putusan lepas tidak memberikan ruang bagi pihak mana pun untuk mengajukan banding maupun peninjauan kembali (PK). Namun, sama seperti putusan bebas, Pasal 244 KUHAP juncto Putusan MK Nomor 114/PUU-X/2012 membuka peluang kasasi terhadap putusan lepas. Oleh karena itu, jaksa dapat mengajukan permohonan kasasi jika tidak sependapat dengan putusan lepas yang dijatuhkan oleh pengadilan. Kesimpulan Pengadilan menjatuhkan putusan bebas jika tidak menemukan bukti yang sah dan meyakinkan atas perbuatan terdakwa. Sebaliknya, pengadilan menjatuhkan putusan lepas jika perbuatan terdakwa terbukti, namun tidak tergolong sebagai tindak pidana. Keduanya berbeda dari putusan pemidanaan karena hakim menyatakan terdakwa bersalah dan menjatuhkan pidana dalam putusan tersebut. Upaya hukum banding dan peninjauan kembali (PK) tidak dapat dilakukan terhadap putusan bebas maupun putusan lepas. Namun, berdasarkan Putusan MK Nomor 114/PUU-X/2012, jaksa atau terdakwa dapat mengajukan kasasi terhadap kedua jenis putusan tersebut. Ketentuan ini menegaskan bahwa kasasi menjadi satu-satunya jalan upaya hukum biasa terhadap putusan bebas dan putusan lepas. Telusuri Lebih Lanjut
Persamaan dan Perbedaan PIH dan PHI
Perbedaan dan Hubungan antara Pengantar Ilmu Hukum (PIH) dan Pengantar Hukum Indonesia (PHI) Pengertian Pengantar Hukum Indonesia (PHI) Para ahli hukum telah memberikan berbagai definisi mengenai Pengantar Hukum Indonesia (PHI). Hartono Hadisoeprapto menjelaskan bahwa PHI berfungsi sebagai pintu gerbang bagi siapa pun yang ingin mempelajari aturan-aturan hukum yang berlaku di Indonesia. R. Abdul Jamil menekankan bahwa hukum yang dibahas dalam PHI merupakan hukum positif atau ius constitutum, yaitu hukum yang berlaku pada saat tertentu. Sementara itu, Soediman Kartohadiprodjo menyatakan bahwa tata hukum Indonesia merupakan hukum yang saat ini berlaku di Indonesia, bukan hukum masa lampau atau hukum yang dicita-citakan di masa depan (ius constituendum). Secara umum, PHI mencakup seluruh peraturan hukum yang berlaku di Indonesia. Subjek hukum dalam PHI meliputi warga negara Indonesia, warga negara asing yang berdomisili di Indonesia, serta badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia. Sementara itu, objek hukum PHI mencakup seluruh benda yang berada di wilayah Indonesia, baik benda bergerak maupun tidak bergerak, serta benda berwujud maupun tidak berwujud. Pengertian Pengantar Ilmu Hukum (PIH) Pengantar Ilmu Hukum (PIH) membahas hukum secara umum tanpa membatasi pada ruang dan waktu tertentu. Objek kajian PIH mencakup prinsip-prinsip dasar, maksud, tujuan, dan tata hubungan dalam hukum sebagai ilmu pengetahuan. Dalam PIH, para mahasiswa hukum mempelajari berbagai konsep fundamental tentang hukum, termasuk keterkaitannya dengan filsafat hukum. Secara spesifik, PIH mencakup tiga ruang lingkup utama, yaitu: Perbedaan antara PIH dan PHI Perbedaan utama antara PIH dan PHI terletak pada objek kajiannya. PIH membahas peraturan-peraturan hukum secara umum yang tidak terikat waktu dan tempat, sehingga bersifat lebih konseptual dan teoritis. PIH berfungsi untuk memperkenalkan makna hukum, asas-asas dasar hukum, dan memberikan fondasi keilmuan yang menyeluruh. Mahasiswa mempelajari PIH untuk memahami sistem hukum secara integral dari sudut pandang berbagai disiplin ilmu. Sebaliknya, PHI secara khusus mengkaji peraturan hukum yang berlaku di Indonesia saat ini. Mahasiswa mempelajari PHI untuk mengenal sistem hukum Indonesia, termasuk peraturan perundang-undangan dan lembaga-lembaga hukum yang menjalankan sistem tersebut. Hubungan antara PIH dan PHI Meskipun PIH dan PHI memiliki fokus kajian yang berbeda, keduanya saling berkaitan erat dalam studi hukum. PIH berperan sebagai dasar teoritis dalam mempelajari PHI. Artinya, mahasiswa sebaiknya memahami PIH terlebih dahulu sebelum mendalami PHI. Dengan memahami PIH, mahasiswa akan memperoleh pemahaman yang utuh mengenai asas, prinsip, dan tujuan hukum yang kemudian diterapkan dalam konteks hukum positif Indonesia melalui PHI. Keduanya termasuk mata kuliah dasar keahlian dalam kurikulum hukum dan berfungsi saling melengkapi. PIH memperkenalkan hukum sebagai sistem nilai dan pengetahuan, sementara PHI memperkenalkan sistem hukum nasional secara konkret. Kesimpulan Pengantar Ilmu Hukum (PIH) dan Pengantar Hukum Indonesia (PHI) merupakan dua bidang kajian hukum yang berbeda, namun saling mendukung. PIH membahas hukum dalam tataran konseptual dan universal, sedangkan PHI membahas hukum positif yang berlaku di Indonesia. Keduanya memberikan landasan penting bagi siapa pun yang ingin memahami dan mengkaji sistem hukum Indonesia secara utuh dan mendalam. Telusuri Lebih Lanjut
Adakah Batas Waktu Penyelidikan dan Penyidikan?
Batas Waktu Penyidikan Apa Itu Penyidikan? Penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyidik sesuai dengan KUHAP yang bertujuan untuk mencari dan mengumpulkan bukti, guna membuat terang tindak pidana yang terjadi serta menemukan tersangkanya. Siapa yang Bertindak sebagai Penyidik? Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pegawai negeri sipil tertentu yang memperoleh wewenang khusus dari undang-undang untuk melaksanakan penyidikan. Apa Dasar Penyidikan? Pasal 13 ayat (1) Perkapolri 6/2019 menyatakan bahwa penyidik melaksanakan penyidikan berdasarkan laporan polisi dan surat perintah penyidikan. Selain itu, Pasal 106 KUHAP mewajibkan penyidik untuk segera bertindak setelah menerima laporan atau pengaduan atas dugaan tindak pidana. Tahapan Penyidikan Tindak Pidana Menurut Pasal 10 ayat (1) Perkapolri 6/2019, tahapan penyidikan mencakup: Apakah Ada Batas Waktu Penyidikan? Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2009 pernah menetapkan batas waktu penyidikan sebagai berikut: Namun, Perkapolri 12/2009 kini telah dicabut. Akibatnya, tidak ada aturan yang secara eksplisit mengatur batas waktu penyidikan saat ini. Bagaimana dengan Batas Penahanan? Meskipun tidak ada batas waktu penyidikan, Pasal 24 ayat (1) KUHAP mengatur bahwa masa penahanan oleh penyidik hanya berlaku selama 20 hari. Penuntut umum dapat memperpanjang masa penahanan hingga 40 hari tambahan. Setelah 60 hari, penyidik wajib membebaskan tersangka demi hukum jika penyidikan belum selesai. Apa yang Terjadi Setelah Penyidikan Selesai? Setelah menyelesaikan penyidikan, penyidik wajib membuat resume yang berisi ikhtisar dan kesimpulan hasil penyidikan. Penyidik juga harus menyusun berkas perkara secara lengkap dan menyerahkannya kepada penuntut umum. Jika penyidik tidak menemukan cukup bukti atau alasan hukum, maka penyidik dapat menghentikan penyidikan melalui gelar perkara untuk memenuhi asas kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Kesimpulan Saat ini, hukum positif tidak mengatur secara tegas batas waktu penyelidikan dan penyidikan. Oleh karena itu, penyelidik dan penyidik dapat melaksanakan tugas mereka hingga sebelum masa daluwarsa tindak pidana berakhir. Namun, penyidik tetap harus memperhatikan batas waktu penahanan dan prinsip-prinsip hukum acara pidana yang berlaku. Telusuri Lebih Lanjut
Hukum Membuat Akun Palsu Pakai Foto Artis
Foto sebagai Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik Kita mengenal istilah akun palsu sebagai fake account atau alter account. Dalam kasus ini, teman Anda membuat akun palsu dengan menggunakan foto selebgram Thailand, tanpa menyertakan identitas atau informasi pribadi lainnya. Untuk memahami konsekuensinya, kita perlu menjelaskan terlebih dahulu apakah foto termasuk informasi elektronik dan dokumen elektronik. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU 19/2016, informasi elektronik merupakan sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, EDI, email, telegram, teleks, fax, simbol, atau kode yang telah diolah dan memiliki arti bagi orang yang memahami informasi tersebut. Selanjutnya, Pasal 1 angka 4 UU 19/2016 menjelaskan bahwa dokumen elektronik mencakup setiap informasi elektronik yang seseorang buat, teruskan, kirimkan, terima, atau simpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya. Dokumen ini dapat ditampilkan atau diperdengarkan melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, dan unsur digital lainnya yang memiliki makna. Dengan merujuk pada definisi tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa foto termasuk dalam informasi elektronik dan dokumen elektronik. Jika seseorang menampilkan file foto, maka yang kita lihat di layar adalah informasi elektronik, sedangkan file-nya sendiri—dalam format jpg, png, atau lainnya—merupakan dokumen elektronik. Manipulasi dengan Menggunakan Foto Orang Lain Teman Anda menggunakan foto selebgram Thailand untuk membuat akun palsu di Instagram dan memanipulasi persepsi orang lain. Dalam hal ini, Pasal 35 UU ITE menjelaskan bahwa: Setiap orang yang secara sengaja dan tanpa hak melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, atau perusakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik agar seolah-olah data tersebut autentik, dapat dipidana. Mengacu pada pendapat Josua Sitompul dalam artikel WNI Menggunakan Identitas WNA, Termasuk Kejahatan Siber?, keaslian informasi elektronik dapat ditentukan dari sumber dan kontennya. Suatu dokumen dikatakan autentik jika berasal dari pihak yang berwenang dan memuat isi yang sesuai dengan maksud pihak tersebut. Selain itu, KBBI mendefinisikan manipulasi sebagai: upaya seseorang atau sekelompok orang untuk memengaruhi sikap dan pendapat pihak lain tanpa disadari oleh pihak tersebut. Dengan demikian, teman Anda telah memanipulasi informasi elektronik dengan tujuan menimbulkan kesan palsu. Sanksi Pidana atas Manipulasi Foto Jika teman Anda memenuhi unsur dalam Pasal 35 UU ITE, maka Pasal 51 ayat (1) menetapkan bahwa: Pelaku dapat dipidana dengan hukuman penjara paling lama 12 tahun dan/atau denda maksimal Rp12 miliar. Namun, hukum pidana menganut prinsip ultimum remedium, yaitu menjadikan pidana sebagai jalan terakhir. Oleh sebab itu, kami menyarankan agar pihak-pihak terkait menyelesaikan perkara ini secara kekeluargaan, terutama antara teman Anda dan laki-laki yang menjadi korban penipuan. Cara Melaporkan Akun Palsu melalui Instagram Instagram telah menetapkan kebijakan tegas terhadap akun palsu atau akun peniru. Anda dapat melaporkan akun yang menyamar sebagai: Jika Anda menjadi korban penyamaran tetapi tidak memiliki akun Instagram, Anda bisa menggunakan formulir khusus yang tersedia di situs Instagram. Untuk kasus teman Anda, laki-laki yang menjadi korban dapat menghubungi selebgram Thailand melalui email, telepon, atau pesan langsung. Ia bisa menyampaikan bahwa seseorang telah menyalahgunakan foto selebgram tersebut untuk membuat akun palsu. Setelah menerima informasi tersebut, selebgram Thailand langsung melaporkan akun palsu itu ke Instagram agar platform tersebut segera menindaklanjutinya. Telusuri Lebih Lanjut
Bisakah Mengajukan PBG Jika Belum Memiliki Hak Atas Tanah?
Persyaratan Pengajuan PBG (Persetujuan Bangunan Gedung) Agar dapat memperoleh Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), pemohon wajib memenuhi sejumlah syarat berikut: Apakah Status Hak atas Tanah Menjadi Syarat Pengajuan PBG? Peraturan perundang-undangan seperti PP 16/2021, PP 28/2025, dan UU 28/2002 yang telah diubah oleh Perppu Cipta Kerja, tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa status hak atas tanah menjadi syarat mutlak untuk mengajukan PBG. Namun demikian, Pasal 35 ayat (2) UU 28/2002 yang telah diubah menjelaskan bahwa seseorang dapat membangun gedung di atas tanah milik sendiri atau milik pihak lain. Dalam hal tanah tersebut bukan milik pribadi, pemilik bangunan harus membuat perjanjian tertulis dengan pemilik tanah. Perjanjian ini harus berbentuk akta autentik dan memuat hak serta kewajiban kedua belah pihak. Lebih lanjut, Penjelasan Umum PP 16/2021 menyebutkan bahwa kejelasan status hak atas tanah menjadi syarat mutlak dalam mendirikan bangunan. Bahkan dalam praktiknya, sistem SIMBG mewajibkan pemohon untuk mengisi data terkait dokumen kepemilikan tanah saat mengajukan PBG. Dengan kata lain, secara administratif, status hak atas tanah menjadi salah satu syarat penting untuk mengajukan PBG, meskipun dalam PP 16/2021, dokumen ini lebih ditekankan sebagai syarat untuk memperoleh SBKBG (Surat Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung) setelah mendapatkan PBG. Mengajukan PBG Tanpa Sertifikat HGB atau HGU, Apakah Bisa? Menurut Pasal 7 ayat (2) huruf a Permen PUPR 27/2018, status hak atas tanah dibuktikan dengan dokumen administratif berupa surat bukti hak atas tanah, seperti sertifikat HGB, HGU, atau hak milik lainnya. Lalu, apakah dokumen seperti PKKPR atau SKT dapat menggantikan syarat tersebut? Jika merujuk pada PKKPR, dokumen ini hanya menunjukkan kesesuaian rencana kegiatan dengan tata ruang. Maka, meskipun PKKPR memuat informasi penguasaan tanah, dokumen ini tidak membuktikan status kepemilikan tanah secara sah. Dengan demikian, pemohon tetap harus menyertakan sertifikat hak atas tanah saat mengajukan PBG. Bagaimana dengan SKT? SKT (Surat Keterangan Tanah) merupakan bukti kepemilikan yang bersifat di bawah tangan. Meskipun banyak pihak menggunakan SKT sebagai dasar pendaftaran hak atas tanah, dokumen ini belum memberikan kekuatan pembuktian setara akta autentik.. Oleh karena itu, pemohon tidak bisa menggunakan SKT sebagai pengganti dokumen kepemilikan hak atas tanah untuk pengajuan PBG. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, kami menyarankan agar Anda mengajukan PBG setelah memperoleh sertifikat HGB atau HGU. Untuk mempercepat proses, Anda juga dapat berkonsultasi langsung dengan dinas terkait. Telusuri Lebih Lanjut
Cara Klaim JKP dan Manfaat yang Didapat Penerimanya
Apa Itu JKP di BPJS Ketenagakerjaan? BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk memberikan perlindungan sosial kepada pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Program ini memberikan tiga jenis manfaat utama, yaitu uang tunai, akses informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja. Siapa Saja yang Berhak Mengikuti Program JKP? BPJS Ketenagakerjaan menetapkan kriteria penerima program JKP sebagai berikut: Apa Manfaat dari Jaminan Kehilangan Pekerjaan? Program JKP memberikan tiga manfaat utama yang diatur dalam PP 37/2021: 1. Uang Tunai Peserta akan menerima uang tunai selama maksimal 6 bulan. BPJS menghitung uang tunai ini berdasarkan upah terakhir yang dilaporkan oleh pengusaha, dengan batas atas Rp5 juta. Jika upah melebihi batas itu, BPJS tetap menggunakan angka Rp5 juta sebagai dasar. 2. Akses Informasi Pasar Kerja Peserta akan memperoleh informasi lowongan kerja dan bimbingan karier berupa asesmen diri dan konseling karier. 3. Pelatihan Kerja BPJS memfasilitasi pelatihan berbasis kompetensi melalui lembaga pelatihan kerja milik pemerintah, swasta, atau perusahaan. Syarat untuk Mengklaim JKP Peserta hanya dapat mencairkan JKP setelah mengalami PHK, dengan ketentuan: Bagaimana Prosedur Klaim JKP? 1. Pemberitahuan PHK oleh Pengusaha Pengusaha wajib menginformasikan PHK ke BPJS Ketenagakerjaan maksimal 7 hari kerja sejak tanggal PHK. Pengusaha mengisi formulir SIK dan melampirkan: 2. Pengajuan Klaim oleh Peserta Peserta mengajukan klaim melalui Sistem Informasi Ketenagakerjaan (SIK) dengan menyertakan: 3. Verifikasi Data oleh BPJS BPJS akan memverifikasi data peserta maksimal 3 hari kerja. Jika data tidak lengkap atau tidak sesuai, BPJS meminta pengusaha/peserta memperbaikinya sebelum proses dilanjutkan. 4. Pemberian Manfaat a. Uang Tunai Peserta akan menerima: Peserta harus membuktikan pencarian kerja melalui: b. Akses Informasi Pasar Kerja Peserta dapat melakukan asesmen diri dan mengikuti konseling karier. Setelah konseling, peserta akan menerima rekomendasi pelatihan kerja atau pekerjaan yang sesuai. Peserta wajib melaporkan jika sudah diterima bekerja dalam waktu maksimal 7 hari kerja. c. Pelatihan Kerja Peserta yang belum bekerja dan telah memperoleh rekomendasi dari petugas antar kerja berhak mengikuti pelatihan kerja satu kali selama periode manfaat JKP. Berapa Kali Peserta Dapat Mengajukan JKP? Peserta dapat mengajukan manfaat JKP maksimal tiga kali selama masa usia kerja, dengan ketentuan: Telusuri Lebih Lanjut
UU Dicabut Bukan karena Bertentangan dengan Konstitusi?
Pencabutan Undang-Undang: Ketentuan, Alasan, dan Teknik Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berwenang mencabut undang-undang (UU) tanpa harus menyatakan bahwa UU tersebut bertentangan dengan konstitusi. Pencabutan hanya dapat dilakukan melalui undang-undang pula, sesuai dengan asas kesesuaian jenis dan materi muatan peraturan perundang-undangan. Alasan-Alasan yang Mendasari Pencabutan UU Presiden dan DPR dapat mencabut suatu UU berdasarkan berbagai alasan. Beberapa pihak biasanya menggunakan alasan berikut: Dua Teknik Pencabutan UU Mengacu pada pendapat Maria Farida Indrati Soeprapto dalam Ilmu Perundang-Undangan Jilid 2: Proses dan Teknik, pencabutan UU dapat dilakukan dengan dua teknik, yaitu pencabutan dengan penggantian dan pencabutan tanpa penggantian. 1. Pencabutan UU dengan Penggantian Pembentuk UU menggunakan teknik ini ketika mereka mengganti suatu undang-undang dengan undang-undang baru yang mengatur substansi berbeda. Biasanya, negara memilih teknik ini saat menerapkan sistem atau pendekatan hukum baru. Contoh:Pemindahan Ibu Kota Negara dari DKI Jakarta ke Ibu Kota Nusantara mengakibatkan perubahan status hukum Jakarta menjadi Daerah Khusus Jakarta (DKJ). Pemerintah mencabut UU No. 29 Tahun 2007 melalui UU No. 2 Tahun 2024 dan perubahannya. UU yang baru ini tidak hanya mencabut tetapi juga menggantikan pengaturan lama secara komprehensif. Bukti norma:Pasal 70 UU No. 2 Tahun 2024 secara tegas menyatakan bahwa UU No. 29 Tahun 2007 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku pada saat UU baru mulai berlaku. 2. Pencabutan UU Tanpa Penggantian Pemerintah memilih teknik ini ketika tidak lagi membutuhkan substansi undang-undang tersebut dan tidak berencana menggantikannya. Dalam praktiknya, pembentuk UU hanya mencantumkan dua pasal dalam regulasi pencabutan tersebut, yaitu: Contoh:UU No. 26 Tahun 1999 mencabut UU No. 11/PnPs/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversif. Dalam konsiderannya, pemerintah menjelaskan bahwa konsep pemberantasan subversif tidak lagi sesuai dengan prinsip negara hukum dan hak asasi manusia. Pemerintah menilai UU lama menimbulkan ketidakpastian hukum serta keresahan masyarakat, sehingga pemerintah memutuskan untuk mencabutnya secara mutlak tanpa menyediakan pengganti. Pencabutan UU Akibat Putusan Mahkamah Konstitusi Putusan MK yang menyatakan suatu UU atau pasal-pasal dalam UU bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, mewajibkan pemerintah mencabut UU tersebut. Pemerintah yang belum mencabut undang-undang secara formal tetap mewajibkan semua pihak memperlakukan undang-undang tersebut sesuai amar putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu menghentikan penerapannya dan tidak menggunakannya sebagai dasar hukum. Telusuri Lebih Lanjut
Syarat Penukaran Uang Rusak
Syarat Penukaran Uang Rupiah Tidak Layak Edar Bank Indonesia mengelompokkan uang Rupiah tidak layak edar (UTLE) sebagai uang yang lusuh, cacat, atau rusak. Misalnya, uang robek tergolong sebagai uang rusak yang tidak layak beredar. Ketentuan Umum Penukaran Uang Rusak Masyarakat dapat menukarkan uang Rupiah tidak layak edar dengan mengikuti ketentuan berikut: Syarat Penukaran Berdasarkan Jenis Uang Bank Indonesia menetapkan syarat penukaran uang cacat atau rusak melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 21/11/PBI/2019, dengan rincian sebagai berikut: 1. Uang Kertas Bank Indonesia akan mengganti uang kertas yang rusak jika: Jika ukuran uang sama dengan atau kurang dari 2/3 ukuran asli, Bank Indonesia tidak memberikan penggantian. 2. Uang Logam Bank Indonesia akan mengganti uang logam jika: Namun, jika ukuran sama dengan atau kurang dari 1/2 ukuran asli, Bank Indonesia tidak mengganti uang tersebut. 3. Uang yang Terbakar Jika sebagian uang terbakar namun keasliannya masih dapat dikenali, Bank Indonesia tetap memberikan penggantian dengan nilai nominal yang sama. Ketentuan Jika Kerusakan Terjadi Secara Sengaja Bank Indonesia tidak mengganti uang jika menduga atau membuktikan bahwa kerusakan terjadi secara sengaja. Kriteria dugaan kerusakan sengaja antara lain: Selain itu, jika hasil pemeriksaan laboratorium atau putusan pengadilan menyatakan bahwa seseorang sengaja merusak uang Rupiah, Bank Indonesia akan menolak penggantian. Prosedur Jika Ciri Keaslian Sulit Dikenali Jika uang rusak tidak menunjukkan ciri keaslian secara jelas, penukar wajib mengisi formulir permintaan penelitian uang rusak. Selanjutnya, penukar dapat mengirimkan uang dalam kemasan layak ke Bank Indonesia untuk diteliti lebih lanjut. Setelah proses selesai, Bank Indonesia akan menginformasikan jumlah penggantian yang sesuai. Tempat Penukaran Uang Rusak Masyarakat dapat menukarkan uang rusak melalui dua jalur berikut: Telusuri Lebih Lanjut
Izin Komersial/Operasional Tidak Berlaku, Ini yang Harus Dipenuhi
Apakah Izin Komersial atau Operasional Masih Berlaku? Riwayat Pengaturan Izin Komersial/Operasional Sebelumnya, pemerintah mengatur izin komersial atau operasional melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2018. Dalam Pasal 1 angka 9, pemerintah mendefinisikan izin ini sebagai izin dari lembaga OSS untuk dan atas nama pejabat berwenang, yang diterbitkan setelah pelaku usaha mendapatkan izin usaha dan memenuhi persyaratan atau komitmen tertentu. Namun, PP 24/2018 kini tidak berlaku lagi. Pemerintah telah mencabutnya melalui PP 5/2021, dan kemudian mengganti PP 5/2021 dengan PP 28 Tahun 2025. Perizinan Berbasis Risiko Menggantikan Izin Operasional Saat ini, sistem perizinan usaha telah beralih ke pendekatan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (PBBR) melalui platform OSS Risk Based Approach (RBA). Sistem ini menilai dan menetapkan izin berdasarkan tingkat risiko kegiatan usaha. Menurut Pasal 4 ayat (1) PP 28/2025, pelaku usaha wajib memiliki perizinan berusaha (PB) untuk menjalankan kegiatan usahanya. Pelaku usaha harus terlebih dahulu memenuhi persyaratan dasar, kecuali ketentuan lain mengatur berbeda dalam PP tersebut. Jika kegiatan usaha membutuhkan izin tambahan untuk mendukung operasionalnya, maka pelaku usaha juga wajib memiliki PB untuk Menunjang Kegiatan Usaha (PB UMKU). Tahapan Perizinan Berusaha Pelaku usaha harus melalui dua tahapan utama: 1. Memulai Usaha Tahapan ini mencakup: 2. Menjalankan Usaha Tahapan ini meliputi: Sistem ini menyesuaikan bentuk PB dengan tingkat risiko dan skala usaha, sebagaimana tercantum dalam Pasal 128 PP 28/2025. Kategori Risiko dan Implikasinya Pemerintah menetapkan empat kategori tingkat risiko: Dalam risiko tinggi, pelaku usaha boleh menggunakan NIB terlebih dahulu untuk mempersiapkan kegiatan usaha. Namun, izin wajib dimiliki sebelum memulai operasional dan/atau komersial. Kesimpulan: Izin Operasional Sudah Tidak Berlaku Lagi Saat ini, pemerintah tidak lagi memberlakukan izin komersial atau operasional sebagai izin terpisah. Sistem PBBR telah menggantikannya dengan: Semua bentuk ini berfungsi sebagai legalitas utama untuk menjalankan kegiatan operasional dan/atau komersial. Dengan kata lain, izin operasional/komersial kini telah dilebur ke dalam skema PB berbasis risiko. Contoh Penerapan: KBLI 78200 Kode KBLI 78200 mencakup penyediaan tenaga kerja waktu tertentu, seperti jasa penyediaan tenaga penjaga stan pameran. Kegiatan ini bersifat sumber daya manusia tidak tetap, dan pelaku usaha tidak menyediakan pengawasan langsung kepada pekerja di lokasi pemberi kerja. Menurut Lampiran Surat Edaran Menteri Investasi/Kepala BKPM Nomor 18 Tahun 2021 halaman 14, KBLI 78200 termasuk dalam kategori risiko menengah tinggi. Oleh karena itu, pelaku usaha dengan kode ini wajib memiliki: Kedua dokumen ini menjadi dasar legal bagi pelaku usaha untuk melaksanakan kegiatan operasional dan/atau komersial. Telusuri Lebih Lanjut
Izin yang Wajib Dimiliki oleh Pengusaha Wedding Organizer
Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP) untuk Wedding Organizer Sebelum membahas lebih lanjut tentang apakah usaha wedding organizer (WO) membutuhkan Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP), mari kita pahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan TDUP. Pengertian TDUP Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 10 Tahun 2018 menjelaskan bahwa TDUP merupakan izin dari sistem Online Single Submission (OSS) yang diterbitkan atas nama pejabat berwenang, setelah pelaku usaha mendaftar dan memenuhi persyaratan untuk memulai serta mengoperasikan usahanya. Jenis Usaha Pariwisata Pasal 5 ayat (1) Permenpar 10/2018 mencantumkan 13 jenis usaha pariwisata, antara lain: Apakah Wedding Organizer Termasuk Usaha Pariwisata? Usaha WO tercantum dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) dengan kode 82302. Kegiatan ini mencakup penyelenggaraan berbagai event, termasuk acara pernikahan, festival, dan acara budaya. Maka dari itu, usaha WO termasuk dalam sektor pariwisata. Namun demikian, apakah WO masih membutuhkan TDUP? Perizinan Usaha Pasca Perppu Cipta Kerja Sejak berlakunya Perppu Cipta Kerja, pemerintah menghapus sistem TDUP dan menggantikannya dengan sistem Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (PBBR). Tujuan utama dari perubahan ini adalah untuk menyederhanakan proses perizinan dan mendorong investasi. Apa Itu PBBR? Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2025 mendefinisikan PBBR sebagai sistem perizinan yang mengacu pada tingkat risiko kegiatan usaha. Sementara itu, Pasal 4 ayat (1) mengatur bahwa pelaku usaha wajib memenuhi persyaratan dasar sebelum memperoleh perizinan berusaha. Semua proses ini dilaksanakan secara elektronik melalui laman resmi OSS: oss.go.id. Penentuan Tingkat Risiko PP 28/2025 mengelompokkan kegiatan usaha berdasarkan risikonya, yaitu: Kode KBLI 82302 masuk dalam kategori risiko menengah rendah dan berlaku untuk usaha skala mikro hingga besar. Dengan demikian, pelaku usaha WO perlu memenuhi dua syarat legalitas: Fungsi NIB dan Sertifikat Standar Penerbit OSS memberikan sertifikat ini atas nama pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun badan kawasan khusus sesuai kewenangan masing-masing. Kesimpulan: Apakah WO Perlu TDUP? Pelaku usaha wedding organizer tidak lagi memerlukan TDUP. Sebagai gantinya, mereka cukup memperoleh NIB dan Sertifikat Standar. Hal ini sesuai dengan perubahan sistem perizinan berdasarkan PBBR yang tercantum dalam Lampiran I.L PP 28/2025, di mana kode KBLI 82302 terdaftar sebagai usaha dengan risiko menengah rendah di sektor pariwisata. Telusuri Lebih Lanjut