Cara Mencabut Gugatan Cerai di Pengadilan Agama Pihak yang mengajukan gugatan cerai di pengadilan agama berhak untuk mencabut gugatan tersebut dalam kondisi tertentu. Prosedur pencabutan gugatan ini mengikuti ketentuan hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan peradilan umum. Artikel ini akan menjelaskan secara lengkap bagaimana cara mencabut gugatan cerai, baik sebelum maupun sesudah pengadilan memeriksa perkara. Dasar Hukum Pencabutan Gugatan Cerai di Pengadilan Agama Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 menyebutkan bahwa hukum acara yang berlaku di pengadilan agama merujuk pada hukum acara perdata di pengadilan umum, kecuali jika undang-undang tersebut mengaturnya secara khusus. Karena undang-undang tersebut tidak mengatur secara spesifik mengenai pencabutan gugatan, maka pengadilan agama mengikuti ketentuan dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv) yang berlaku dalam hukum acara perdata. Cara Mencabut Gugatan Cerai Sebelum Pemeriksaan di Sidang Jika penggugat ingin mencabut gugatan sebelum perkara diperiksa di persidangan, maka pencabutan ini bersifat mutlak sebagai hak penggugat. Penggugat tidak perlu meminta persetujuan dari pihak tergugat. Berikut prosedurnya: 1. Menyampaikan Surat Pencabutan Penggugat harus menyusun surat yang menyatakan secara tegas niat untuk mencabut gugatan. Penggugat harus menyampaikan surat tersebut kepada ketua pengadilan agama. Meskipun pencabutan secara lisan tidak sah menurut prinsip hukum, pengadilan tetap dapat membenarkannya jika penggugat menyampaikannya di hadapan ketua pengadilan atau panitera. 2. Penandatanganan Akta Pencabutan Setelah menerima pencabutan, pihak pengadilan akan membuat akta pencabutan. Penggugat dan ketua pengadilan atau panitera wajib menandatangani akta tersebut agar sah secara hukum dan menciptakan kepastian hukum (legal certainty). 3. Tindakan Administratif oleh Pengadilan Cara Mencabut Gugatan Cerai Setelah Pemeriksaan di Sidang Jika pengadilan telah memeriksa perkara atau tergugat telah memberikan jawaban, maka pencabutan gugatan harus melalui sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak. 1. Menyampaikan Pencabutan di Sidang Penggugat wajib menyatakan pencabutan secara langsung di depan majelis hakim dalam sidang yang terbuka. Pengadilan tidak memperbolehkan pencabutan secara sepihak (ex-parte) jika perkara telah memasuki tahap ini. 2. Mendapatkan Persetujuan dari Tergugat Setelah mendengar pernyataan pencabutan, majelis hakim akan meminta pendapat tergugat. Jika tergugat menolak, maka majelis hakim akan melanjutkan pemeriksaan perkara. Namun jika tergugat menyetujui, maka majelis hakim akan menerbitkan putusan atau penetapan pencabutan dan memerintahkan panitera mencoret perkara dari buku register. Biaya Pencabutan Gugatan Cerai di Pengadilan Agama Tahun 2025 Biaya untuk mencabut gugatan cerai tergolong ringan dan bersifat administratif. Berdasarkan data dari beberapa pengadilan agama seperti Pengadilan Agama Purwodadi, Pengadilan Agama Sentani, dan Pengadilan Agama Malang, biaya permohonan pencabutan gugatan pada tahun 2025 sebesar Rp10.000. Namun, masing-masing pengadilan dapat menerapkan tarif yang berbeda, tergantung kebijakan internal dan wilayah hukumnya. Kesimpulan Penggugat memiliki hak untuk mencabut gugatan cerai, baik sebelum maupun sesudah pengadilan memeriksa perkara. Jika penggugat mencabut gugatan sebelum pemeriksaan, maka ia tidak membutuhkan persetujuan tergugat. Namun jika perkara sudah masuk ke tahap pemeriksaan, maka pencabutan hanya sah apabila tergugat menyetujuinya. Penggugat wajib mematuhi prosedur yang ditetapkan untuk memastikan pencabutan tersebut sah menurut hukum dan teradministrasi dengan baik di pengadilan agama. Telusuri Lebih Lanjut
Hak Pemegang Saham Merangkap Direksi PT Tbk
Apakah Pemegang Saham yang Merangkap Sebagai Direksi Boleh Hadir dalam RUPS? Dalam praktik Perseroan Terbatas (PT), sering kali terjadi seseorang merangkap sebagai pemegang saham sekaligus direksi. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: apakah orang tersebut boleh hadir dan memberikan suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)? Artikel ini akan membahas secara lengkap berdasarkan regulasi yang berlaku di Indonesia. Pengertian PT dan PT Tbk Sesuai Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), PT merupakan badan hukum berbentuk persekutuan modal yang seluruhnya terbagi dalam saham. Sementara itu, PT Tbk adalah bentuk khusus PT yang sahamnya diperdagangkan secara publik di pasar modal. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 16 ayat (3) UUPT. Apa Itu RUPS? RUPS adalah organ perseroan yang memiliki kewenangan tertinggi dan tidak dimiliki oleh direksi maupun dewan komisaris. RUPS berperan dalam pengambilan keputusan penting, seperti pengesahan laporan keuangan, perubahan anggaran dasar, hingga pengangkatan atau pemberhentian direksi dan komisaris. Menurut Pasal 1 angka 4 UUPT yang telah diubah melalui Perppu Cipta Kerja, RUPS menyandang kedudukan yang sangat strategis dalam struktur perusahaan. Bolehkah Direksi yang Juga Pemegang Saham Hadir dalam RUPS? Jawabannya: boleh. Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) POJK 15/2020, setiap pemegang saham, baik hadir sendiri maupun melalui kuasa, berhak hadir dan mengeluarkan suara dalam RUPS. Selain itu, Pasal 37 POJK 15/2020 juga menyebutkan bahwa direksi dan komisaris berhak hadir dalam RUPS. Dengan demikian, apabila seseorang merangkap sebagai direksi sekaligus pemegang saham, maka ia dapat hadir dalam dua kapasitas sekaligus—yakni sebagai peserta RUPS dan sebagai direksi yang menjelaskan kinerja perusahaan. Namun, terdapat pengecualian. Dalam hal RUPS hanya boleh dihadiri oleh pemegang saham independen (misalnya, dalam kasus transaksi material tertentu), maka anggota direksi—meskipun memiliki saham—tidak boleh hadir. Pemegang saham independen diartikan sebagai pihak yang tidak memiliki hubungan afiliasi atau kepentingan pribadi dengan perusahaan. Apakah Direksi yang Juga Pemegang Saham Memiliki Hak Suara? Ya, memiliki. Merujuk pada Pasal 84 ayat (1) UUPT, setiap saham memiliki satu hak suara, kecuali anggaran dasar menyatakan lain. Selama direksi secara sah memiliki saham tersebut, mereka tetap dapat menggunakan hak suaranya dalam RUPS. Pasal 38 ayat (3) POJK 15/2020 melarang anggota direksi memimpin RUPS jika terjadi benturan kepentingan. Selain itu, Pasal 84 ayat (2) UUPT menegaskan bahwa saham milik perseroan sendiri atau anak perusahaan tidak memiliki hak suara. Jadi, jika direksi memiliki saham melalui mekanisme seperti ini, penyelenggara RUPS tidak menghitung hak suaranya dalam kuorum dan voting. Apakah Direksi Dapat Menjadi Kuasa Pemegang Saham dalam RUPS? Tidak bisa. Pasal 85 ayat (4) UUPT dan Pasal 30 ayat (1) POJK 15/2020 melarang anggota direksi, dewan komisaris, dan karyawan perusahaan terbuka untuk bertindak sebagai kuasa pemegang saham. Oleh karena itu, apabila pemegang saham ingin memberikan kuasa, ia harus menunjuk pihak lain yang bukan termasuk organ perseroan. Laporan Kepemilikan Saham Tidak Langsung oleh Direksi dan Komisaris Jika direksi atau komisaris memiliki saham secara tidak langsung—misalnya melalui pihak ketiga atau entitas lain—mereka tetap wajib melaporkan kepemilikan saham tersebut ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). OJK mengatur hal ini dalam POJK 4/2024. Pelaporan ini berlaku jika: Pemegang saham harus menyampaikan laporan setiap kali terjadi perubahan satuan persentase, bukan hanya saat melewati ambang batas tertentu. Kesimpulan Direksi yang memiliki saham dalam PT Tbk tetap dapat menghadiri dan memberikan suara dalam RUPS, kecuali jika RUPS tersebut hanya terbuka bagi pemegang saham independen. Namun, direksi tidak dapat menjadi kuasa dari pemegang saham lain dan harus berhati-hati jika ada benturan kepentingan dalam agenda rapat. Selain itu, direksi dan komisaris wajib melaporkan kepemilikan saham mereka, termasuk yang tidak langsung, kepada OJK untuk mendukung transparansi dalam pasar modal. Telusuri Lebih Lanjut
Perbedaan Saksi Mahkota dengan Justice Collaborator
Perbedaan Saksi Mahkota dan Justice Collaborator dalam Hukum Pidana Indonesia Perbedaan Saksi Mahkota dengan Justice CollaboratorDalam praktik peradilan pidana di Indonesia, kita mengenal dua istilah penting yang tidak secara eksplisit tercantum dalam KUHAP, yaitu saksi mahkota dan justice collaborator. Meskipun tidak memiliki dasar normatif yang kuat dalam undang-undang, kedua istilah ini sering muncul dalam proses penegakan hukum. Artikel ini akan menjelaskan secara lengkap pengertian, dasar hukum, serta perbedaan antara saksi mahkota dan justice collaborator. Apa Itu Saksi Mahkota? Meskipun KUHAP tidak menyebutkan istilah saksi mahkota, Mahkamah Agung telah menjelaskan pengertiannya melalui Putusan MA No. 2437 K/Pid.Sus/2011. Dalam putusan tersebut, pengadilan mendefinisikan saksi mahkota sebagai tersangka atau terdakwa yang menjadi saksi terhadap terdakwa lain yang terlibat dalam tindak pidana yang sama. Dengan kata lain, saksi mahkota merupakan sesama pelaku yang memberikan keterangan terhadap rekannya. Biasanya, penuntut umum menggunakan mekanisme pemisahan berkas perkara (splitsing) untuk menjadikan salah satu pelaku sebagai saksi. Dalam praktiknya, aparat penegak hukum memberikan imbalan berupa keringanan tuntutan atau penghapusan perkara terhadap saksi mahkota. Dasar Hukum Saksi Mahkota Pasal 142 KUHAP menjadi dasar praktik pemisahan berkas perkara. Pasal ini memberikan kewenangan kepada jaksa untuk memisahkan berkas jika satu perkara melibatkan beberapa pelaku. Meskipun pasal tersebut tidak menyebut istilah saksi mahkota, praktik splitsing membuka ruang bagi penggunaan pelaku sebagai saksi. Namun, sebagian pakar hukum mengkritik praktik ini karena dianggap melanggar asas non self-incrimination. Asas ini menjamin hak terdakwa untuk tidak dipaksa memberikan keterangan yang memberatkan dirinya sendiri atau orang lain dalam perbuatan yang sama. Apa Itu Justice Collaborator? Berbeda dari saksi mahkota, istilah justice collaborator memiliki dasar yang lebih jelas. Kita dapat menemukannya dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2011. Mahkamah Agung menyusun pedoman ini dengan merujuk pada Pasal 37 Konvensi PBB Anti Korupsi. Justice collaborator adalah pelaku tindak pidana tertentu yang secara sukarela bekerja sama dengan aparat penegak hukum. Mereka bersedia mengakui perbuatannya dan membantu mengungkap pelaku lain dalam jaringan kejahatan. Syarat Menjadi Justice Collaborator Menurut angka 9 SEMA 4/2011, seseorang dapat menjadi justice collaborator jika memenuhi syarat berikut: Selain itu, justice collaborator hanya berlaku untuk tindak pidana serius seperti korupsi, terorisme, narkotika, perdagangan orang, pencucian uang, dan kejahatan terorganisir lainnya. Perbedaan Antara Saksi Mahkota dan Justice Collaborator Tabel berikut merangkum perbedaan utama antara saksi mahkota dan justice collaborator: Kriteria Saksi Mahkota Justice Collaborator Asal Istilah Putusan pengadilan SEMA 4/2011 Status Terdakwa dalam perkara yang dipisah Pelaku yang bekerja sama Proses Dipilih oleh jaksa melalui splitsing Mengajukan diri secara sukarela Imbalan Keringanan tuntutan atau penghapusan perkara Perlindungan, penghargaan, dan keringanan pidana Kritik Dapat melanggar asas non self-incrimination Diakui secara resmi sebagai bentuk kerja sama Penutup Dalam hukum pidana Indonesia, aparat penegak hukum menggunakan istilah saksi mahkota dan justice collaborator untuk mempermudah pembuktian perkara, terutama jika bukti terbatas. Namun, aparat harus menggunakan mekanisme ini secara hati-hati agar tidak melanggar hak-hak tersangka atau terdakwa lain. Justice collaborator mendapatkan pengakuan formal dan perlindungan hukum yang lebih jelas dibandingkan saksi mahkota. Oleh karena itu, pembuat kebijakan sebaiknya mengatur kedudukan saksi mahkota secara lebih tegas dalam undang-undang agar tidak bertentangan dengan prinsip keadilan dan HAM. Telusuri Lebih Lanjut
Produsen Alat Kesehatan Jual Langsung ke Konsumen, Bolehkah?
Ketentuan Hukum Distribusi Barang di Indonesia Distribusi barang memegang peran penting dalam kelancaran kegiatan perdagangan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (“UU Perdagangan”) telah mengatur secara rinci mengenai distribusi barang, baik secara langsung maupun tidak langsung, termasuk ketentuan distribusi alat kesehatan. Pengertian Distribusi Barang Pasal 1 angka 11 UU Perdagangan menjelaskan bahwa distribusi merupakan kegiatan penyaluran barang secara langsung atau tidak langsung kepada konsumen. Pelaku usaha distribusi bertanggung jawab untuk menyalurkan barang tersebut sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Bentuk Distribusi Barang Menurut UU Perdagangan Pasal 7 ayat (1) UU Perdagangan menegaskan bahwa pelaku usaha dapat menyalurkan barang kepada konsumen secara langsung maupun tidak langsung. Kedua bentuk distribusi ini memiliki karakteristik dan mekanisme tersendiri. 1. Distribusi Tidak Langsung Pelaku usaha yang menyalurkan barang secara tidak langsung wajib menggunakan rantai distribusi umum. Rantai tersebut terdiri atas: Produsen wajib menunjuk pelaku usaha sebagai distributor atau agen untuk mendistribusikan barang kepada pengecer, kecuali jika produsen tergolong usaha mikro, kecil, atau menjual barang yang mudah basi. Selain itu, pengecer harus menggunakan sarana penjualan berupa toko atau sarana penjualan lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (1) PP Nomor 29 Tahun 2021 (“PP 29/2021”). Seluruh ketentuan distribusi tidak langsung ini dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 33 sampai Pasal 41 PP 29/2021. 2. Distribusi Langsung Pelaku usaha mendistribusikan barang secara langsung melalui sistem penjualan langsung, baik single level maupun multilevel.. Penjual langsung mendapatkan komisi atau bonus berdasarkan hasil penjualan kepada konsumen. Perusahaan yang menggunakan sistem penjualan langsung wajib memenuhi syarat berikut: Perusahaan harus memperoleh hak distribusi eksklusif melalui perjanjian atau kepemilikan merek. Selain itu, perusahaan dan penjual wajib membuat perjanjian tertulis yang menjabarkan hak dan kewajiban masing-masing. Pemerintah mengatur ketentuan lengkap mengenai distribusi langsung melalui Pasal 42 sampai Pasal 54 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2021. Larangan dalam Kegiatan Distribusi Barang PP 29/2021 juga menetapkan larangan tegas dalam kegiatan distribusi barang. Beberapa larangan tersebut meliputi: Namun, Pasal 58 PP 29/2021 memberikan pengecualian bagi produsen berskala mikro dan kecil serta produsen barang mudah basi (tidak tahan lebih dari 7 hari). Mereka menjual barang langsung ke konsumen tanpa melibatkan distributor atau agen Distribusi Alat Kesehatan Langsung ke Konsumen Bila produsen bergerak di sektor alat kesehatan, maka perlu memperhatikan ketentuan dalam Permenkes Nomor 1191/Menkes/Per/VIII/2010. Penyaluran alat kesehatan hanya boleh dilakukan oleh: Produsen alat kesehatan dalam negeri yang ingin menyalurkan produknya secara langsung wajib memiliki izin sebagai PAK. Permenkes Nomor 26 Tahun 2018 mengatur tata cara, persyaratan, dan masa berlaku izin PAK. Kini, seluruh proses perizinan ini telah terintegrasi dalam sistem OSS (Online Single Submission). Telusuri Lebih Lanjut
Eksploitasi Anak dalam Penyelenggaraan Beasiswa
Eksploitasi Anak dan Pelanggaran CSR dalam Audisi Beasiswa oleh Perusahaan Rokok Apa Itu Eksploitasi Anak Menurut Hukum di Indonesia? Eksploitasi anak adalah tindakan memperalat, memanfaatkan, atau memeras anak demi keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan. Berdasarkan Pasal 13 ayat (1) huruf b UU Perlindungan Anak, setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari eksploitasi, baik secara ekonomi maupun seksual. Jenis Eksploitasi Anak yang Diatur dalam UU Menurut Penjelasan Pasal 66 UU No. 35 Tahun 2014, eksploitasi anak secara ekonomi mencakup: Sedangkan eksploitasi seksual meliputi semua bentuk pemanfaatan organ tubuh anak untuk keuntungan ekonomi, termasuk kegiatan pelacuran dan pencabulan. Sanksi Pidana bagi Pelaku Eksploitasi Anak Hakim dapat menjatuhkan pidana penjara hingga 10 tahun dan/atau denda Rp200 juta kepada pelaku eksploitasi anak secara ekonomi dan/atau seksual. Hakim dapat menjatuhkan pidana penjara hingga 5 tahun dan/atau denda Rp100 juta kepada orang yang membiarkan anak tereksploitasi Corporate Social Responsibility (CSR) dan Kegiatan Audisi CSR Menurut UU Perseroan Terbatas Perusahaan wajib menjalankan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) atau CSR untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Perusahaan sumber daya alam, termasuk industri rokok, harus menjalankan program CSR yang sesuai dengan hukum Apakah Audisi Beasiswa Merupakan Bentuk CSR? Perusahaan rokok menyelenggarakan Audisi Umum Beasiswa Bulu Tangkis sebagai bagian dari kegiatan CSR mereka. Namun, kegiatan tersebut harus tetap mengikuti aturan perundang-undangan, khususnya terkait pembatasan usia peserta dan promosi produk tembakau. Aturan Pengendalian Promosi Produk Tembakau PP 28 Tahun 2024 melarang perusahaan rokok melakukan kegiatan yang bertentangan dengan perlindungan anak dan kesehatan masyarakat: Analisis Hukum Terhadap Audisi Beasiswa Perusahaan Rokok Apakah Termasuk Eksploitasi Anak? Jika dalam kegiatan audisi tersebut terbukti: Akibatnya, pihak berwenang dapat mengategorikan kegiatan tersebut sebagai bentuk eksploitasi anak secara ekonomi Pelanggaran Aturan Promosi Produk Tembakau Audisi tersebut juga bisa melanggar ketentuan promosi produk tembakau karena: Kesimpulan Audisi Umum Beasiswa Bulu Tangkis oleh perusahaan rokok berpotensi: Pemerintah dan masyarakat perlu mengawasi secara ketat setiap kegiatan yang mengatasnamakan CSR agar pelaksana tidak menyalahgunakannya sebagai sarana promosi terselubung, terutama jika melibatkan anak di bawah umur Telusuri Lebih Lanjut
Debitur Pailit Bisa Dipenjara Jika Lakukan Kecurangan Ini
Apa Itu Kepailitan dan Apa Saja Akibat Hukumnya Bagi Debitur? Kepailitan merupakan istilah hukum yang penting dalam dunia bisnis, terutama bagi perusahaan atau individu yang tidak mampu membayar utang-utangnya. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU KPKPU) memberikan dasar hukum yang jelas mengenai hal ini. Pengertian Kepailitan Menurut UU Pasal 1 angka 1 UU KPKPU menyebutkan bahwa ketentuan hukum mendefinisikan kepailitan sebagai sita umum atas seluruh kekayaan debitur, yang kurator kelola dan bereskan di bawah pengawasan hakim pengawas. Setelah hakim membacakan putusan pailit, kurator langsung mengambil alih seluruh harta debitur dan mengelolanya di bawah pengawasan hukum. Definisi Kepailitan Menurut Ahli Menurut Hadi Shubhan dalam buku Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, kondisi finansial yang terganggu dapat menyebabkan debitur tidak mampu membayar utang dan jatuh dalam kepailitan Akibat Hukum Kepailitan Terhadap Debitur Debitur Tidak Lagi Berwenang Mengelola Hartanya Putusan pernyataan pailit menghilangkan hak debitur untuk menguasai dan mengurus harta kekayaannya sendiri. Pasal 24 ayat (1) UU KPKPU menegaskan bahwa debitur kehilangan haknya atas kekayaan yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pailit diucapkan. Namun demikian, debitur tidak kehilangan seluruh hak keperdataannya. Menurut Sutan Remy Sjahdeini dalam bukunya Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan, debitur tetap dapat melakukan perbuatan hukum di bidang perdata, seperti menikah atau menjadi wali dalam pernikahan anaknya. Bagaimana Jika Debitur adalah Perseroan Terbatas (PT)? Jika debitur adalah sebuah PT, maka organ perseroan tetap berfungsi, tetapi hanya boleh menjalankan fungsi yang tidak menyangkut pengeluaran uang dari harta pailit. Segala pengeluaran dari aset perusahaan harus mendapat persetujuan dari kurator. Pengurus PT hanya dapat melakukan tindakan hukum yang menghasilkan pendapatan, dan bukan pengeluaran dari harta pailit. Debitur Melakukan Perbuatan Hukum Setelah Dinyatakan Pailit Apabila debitur tetap mengelola atau membagikan hartanya untuk melunasi utang setelah putusan pailit, maka tindakan tersebut melanggar hukum. Pasal 16 ayat (1) UU KPKPU menyatakan bahwa hanya kurator yang berwenang mengurus dan membereskan harta pailit, bahkan jika putusan pailit masih dalam proses kasasi atau peninjauan kembali. Perbuatan Curang Debitur Pailit dalam Hukum Pidana Debitur yang melakukan tindakan curang pasca putusan pailit juga dapat dijerat pidana. Baik KUHP lama maupun UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP baru memuat ketentuan pidana bagi debitur atau pengusaha yang merugikan kreditur secara curang, seperti: Perbandingan Ketentuan Pidana: KUHP Lama dan KUHP Baru KUHP Lama UU 1/2023 Pasal 397: Pengusaha pailit merugikan kreditur secara curang Pasal 512: Dipidana penjara hingga 7 tahun atau denda maksimal Rp2 miliar Pasal 402: Debitur bukan pengusaha mengurangi hak kreditur secara curang Pasal 515: Penjara hingga 5 tahun atau denda maksimal Rp2 miliar Pasal 513 UU 1/2023 juga mengatur bahwa korporasi bisa dimintai pertanggungjawaban pidana atas perbuatan curang yang dilakukan oleh pengurusnya dalam proses kepailitan. Kesimpulan Kepailitan memiliki dampak hukum yang serius bagi debitur, baik individu maupun badan hukum. Pengadilan menyatakan debitur pailit, sehingga debitur kehilangan hak mengelola hartanya dan hanya kurator yang berwenang mengurus aset tersebut. Debitur melanggar hukum jika masih mengatur hartanya pascapailit, dan pengadilan dapat menjatuhkan hukuman pidana bila ia bertindak curang Memahami prosedur dan akibat hukum dari kepailitan sangat penting bagi pelaku usaha dan profesional hukum agar tidak terjebak dalam pelanggaran hukum yang lebih berat. Telusuri Lebih Lanjut
Bisakah Mencabut Pengaduan Jika Perkara Sudah Disidangkan?
Pencabutan Pengaduan dalam Delik Aduan: Kapan Masih Bisa Dilakukan? Dalam hukum pidana Indonesia, delik aduan merupakan tindak pidana yang hanya dapat diproses apabila korban atau pihak yang dirugikan mengajukan pengaduan secara resmi. Para ahli hukum seperti P.A.F. Lamintang dan Franciscus Theojunior Lamintang dalam bukunya Dasar-dasar Hukum Pidana di Indonesia menegaskan bahwa delik aduan berbeda dari delik biasa. Jaksa tidak bisa langsung menuntut delik aduan tanpa adanya pengaduan dari pihak yang berkepentingan. Contoh Delik Aduan Beberapa tindak pidana yang tergolong sebagai delik aduan meliputi: Pemerintah menetapkan delik aduan secara tegas melalui undang-undang. Oleh karena itu, aparat penegak hukum hanya dapat memprosesnya apabila korban mengajukan pengaduan secara sah. Apakah Pengaduan Bisa Dicabut? Undang-undang mengatur bahwa pencabutan pengaduan dalam delik aduan hanya berlaku dalam jangka waktu tertentu. Pasal 75 KUHP lama memberi korban waktu tiga bulan sejak tanggal pengaduan untuk mencabut laporan. Aturan serupa juga tercantum dalam Pasal 30 UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru, yang mulai berlaku pada tahun 2026. Bunyi lengkapnya sebagai berikut: “Pengaduan dapat ditarik kembali oleh pengadu dalam waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal pengaduan diajukan. Pengaduan yang ditarik kembali tidak dapat diajukan kembali.” Dengan demikian, apabila korban mengajukan pencabutan setelah lewat batas waktu tiga bulan, maka proses hukum tetap berlanjut hingga memperoleh putusan berkekuatan hukum tetap. Pencabutan Khusus Delik Perzinaan UU KUHP mengatur secara khusus delik aduan perzinaan melalui ketentuan berikut: Kedua pasal tersebut memperbolehkan korban untuk menarik kembali pengaduan selama proses persidangan belum berjalan. Namun, setelah hakim membuka sidang pemeriksaan, korban tidak dapat mencabut pengaduan lagi. Kesimpulan Korban harus mencabut pengaduan delik aduan dalam waktu tiga bulan sejak mengajukannya. Jika korban mengajukan pencabutan setelah tiga bulan berlalu, maka proses hukum tetap berjalan. Korban menggunakan haknya untuk mencabut pengaduan perzinaan jika sidang belum dimulai. Setelah sidang berlangsung, hukum melarang pencabutan tersebut Telusuri Lebih Lanjut
Beli Action Figure, Perlukah Bayar Pajak?
Ketentuan Bea Masuk atas Action Figure dan Barang Impor Lainnya Importasi barang dari luar negeri, termasuk action figure dan model kit, menjadi kegiatan umum bagi konsumen maupun pelaku usaha. Namun, pembeli harus memahami bahwa pemerintah mengenakan tarif bea masuk terhadap barang impor sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Artikel ini akan menjelaskan ketentuan pembebasan, tarif, hingga cara pembayaran bea masuk dan pajak atas barang impor. Barang Impor yang Dapat Bebas Bea Masuk Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memberikan pembebasan bea masuk terhadap barang impor tertentu. Pembeli dapat memperoleh pembebasan jika nilai pabean barang tidak melebihi batas tertentu. Pemerintah mengatur batas nilai ini berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34 Tahun 2025 (PMK 34/2025), sebagai berikut: 1. Barang Pribadi Penumpang Penumpang yang membawa barang pribadi untuk keperluan sendiri dapat memperoleh pembebasan bea masuk jika nilai pabean barang tidak melebihi FOB USD500,00 per orang untuk setiap kedatangan. 2. Barang Awak Sarana Pengangkut Awak sarana pengangkut yang membawa barang pribadi mendapat pembebasan bea masuk dengan nilai pabean maksimal FOB USD50,00 per orang untuk setiap kedatangan. 3. Barang Non-Pribadi Barang selain keperluan pribadi, baik oleh penumpang maupun awak sarana pengangkut, juga dapat memperoleh pembebasan bea masuk dengan batas nilai FOB USD50,00 per orang. Ketentuan Jika Nilai Melebihi Batas Jika barang impor melebihi batas nilai pembebasan, maka pembeli wajib membayar tarif bea masuk dan pajak lain yang ditentukan. PMK 34/2025 menetapkan ketentuan sebagai berikut: a. Barang Pribadi Penumpang (Nilai Pabean > USD500) b. Barang Pribadi Awak Sarana Pengangkut (Nilai Pabean > USD50) c. Barang Non-Pribadi (Action Figure untuk Dijual Kembali) Implikasi Jika Tidak Membayar Petugas bea dan cukai akan menolak menyerahkan barang jika pembeli tidak membayar tarif yang berlaku. Pemerintah juga dapat mengenakan sanksi administrasi sesuai ketentuan peraturan perpajakan. Petugas bea dan cukai tetap mewajibkan pembayaran bea masuk dalam kasus pembelian untuk dijual kembali, seperti action figure dan model kit Gundam, meskipun pembeli membelinya melalui e-commerce asing dan mengirimkannya sebagai barang pribadi. Ikatan Kuasa Hukum dan Advokat Pajak Indonesia (IKHAPI) menekankan bahwa pemilik barang tidak dapat menerima barang tanpa menyelesaikan seluruh kewajiban pajak impor. Cara Pembayaran Bea Masuk dan Pajak Impor Pembeli dapat membayar bea masuk dan pajak impor melalui Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak (SSPCP). Pemerintah menetapkan SSPCP sebagai bukti sah atas pembayaran kewajiban pajak, berdasarkan PMK Nomor 213/2008 dan perubahannya melalui PMK 30/2013 Saluran Pembayaran Dokumen Pendukung SSPCP SSPCP harus disertai dengan dokumen pendukung seperti: Bukti Pembayaran Resmi Bea dan Cukai akan mengakui SSPCP sebagai bukti resmi jika dokumen tersebut telah memperoleh: Kesimpulan Pembeli dapat memperoleh pembebasan bea masuk atas action figure dan barang impor lainnya jika nilai pabean tidak melebihi batas tertentu. Jika melebihi, maka pembeli wajib membayar bea masuk sebesar 10%, PPN atau PPnBM, dan bahkan PPh jika bukan barang pribadi. Pemerintah hanya akan menyerahkan barang setelah pembeli menyelesaikan seluruh kewajiban tersebut. Untuk menghindari kendala saat pengiriman, sebaiknya pembeli berkoordinasi dengan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai setempat sebelum melakukan transaksi impor. Telusuri Lebih Lanjut
10 Klausul Perjanjian Penyertaan Modal
10 Klausul Perjanjian Penyertaan Modal yang Wajib Dicermati Perjanjian penyertaan modal (share subscription agreement) memegang peranan penting dalam struktur kepemilikan saham sebuah perusahaan. Dalam praktiknya, para pihak dapat menyepakati berbagai klausul untuk melindungi kepentingan masing-masing, terutama pemegang saham lokal atau minoritas. Artikel ini membahas 10 klausul penting yang sering muncul dalam perjanjian penyertaan modal dan bagaimana fungsinya dalam menjaga keseimbangan kekuasaan pemegang saham. 1. Klausul Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (Pre-Emptive Rights Clause) Klausul ini memberikan hak kepada pemegang saham lokal untuk membeli saham baru sebelum ditawarkan kepada investor baru. Tujuannya yaitu mencegah terjadinya pengurangan porsi kepemilikan. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT) mempertegas ketentuan ini dengan menyatakan bahwa semua saham baru harus terlebih dahulu ditawarkan kepada pemegang saham sesuai dengan porsi kepemilikan mereka. 2. Klausul Anti-Dilusi (Anti-Dilution Clause) Melalui klausul ini, para pihak dapat melindungi pemegang saham lokal dari penurunan kepemilikan secara signifikan akibat penerbitan saham baru. Klausul ini kerap diterapkan dalam situasi pendanaan berulang, di mana saham baru sering kali ditawarkan dengan valuasi berbeda. 3. Klausul Persetujuan atas Hal-Hal Tertentu (Reserved Matters Clause) Klausul ini mensyaratkan bahwa keputusan besar, seperti perubahan anggaran dasar, merger, akuisisi, hingga likuidasi, hanya dapat dilakukan dengan persetujuan bulat atau mayoritas tertentu dari pemegang saham lokal. Dengan demikian, pemegang saham mayoritas asing tidak dapat bertindak sepihak terhadap keputusan strategis perusahaan. 4. Klausul Periode Lock-Up (Lock-Up Period Clause) Melalui klausul ini, para pihak dapat membatasi investor asing untuk menjual saham mayoritas mereka dalam jangka waktu tertentu. Tujuannya yaitu mencegah perputaran kepemilikan yang terlalu cepat dan menjaga stabilitas kepemilikan serta strategi jangka panjang perusahaan. Baca juga: Ini Aturan Pendirian PT PMA di Indonesia 5. Hak Ikut Jual (Tag-Along Rights) Tag-along rights memberikan hak kepada pemegang saham lokal untuk ikut menjual saham mereka jika pemegang saham mayoritas (biasanya asing) menjual sahamnya kepada pihak ketiga. Dengan demikian, pemegang saham lokal tidak tertinggal dalam proses pengalihan kepemilikan. 6. Hak Tarik Jual (Drag-Along Rights) Terbatas Meskipun klausul ini mengizinkan pemegang saham mayoritas untuk memaksa pemegang saham minoritas menjual sahamnya saat terjadi penjualan perusahaan, pembatasan perlu ditambahkan. Tujuannya yaitu memastikan pemegang saham lokal tetap menerima kompensasi yang adil dan mencegah terjadinya penyalahgunaan hak. 7. Hak Penawaran Pertama (Right of First Offer – ROFO) Klausul ROFO memberi hak kepada pemegang saham lokal untuk mendapatkan penawaran pertama saat pemegang saham lain berencana menjual sahamnya. Dengan begitu, saham tetap berpotensi dimiliki oleh pihak lokal sebelum masuk ke tangan pihak ketiga. 8. Hak Penolakan Pertama (Right of First Refusal – ROFR) Para pihak dalam perjanjian penyertaan modal menyepakati klausul-klausul berdasarkan asas kebebasan berkontrak, sesuai dengan Pasal 1320 jo. Pasal 1338 KUH Perdata. Klausul ini memberikan kontrol awal kepada pemegang saham lokal atas proses pengalihan saham. Baca juga: Strategi Proteksi Investor dalam Pendanaan Start-Up 9. Klausul Strategi Keluar (Exit Strategy Clause) Klausul strategi keluar berfungsi mendefinisikan secara jelas mekanisme pengakhiran partisipasi pemegang saham. Hal ini mencakup penilaian wajar (fair valuation) atas saham, metode pembayaran, dan perlindungan terhadap pemegang saham lokal saat terjadi likuidasi atau penjualan saham oleh pemegang saham asing. 10. Klausul Opsi Pembelian Kembali (Buyback Option Clause) Klausul ini memungkinkan perusahaan atau pemegang saham lokal untuk membeli kembali saham dari investor asing dalam kondisi tertentu. Dengan cara ini, mereka dapat mempertahankan kontrol lokal atas perusahaan dan mengelola risiko terhadap perubahan arah strategi perusahaan. Kesimpulan Para pihak dalam perjanjian penyertaan modal menyepakati klausul-klausul berdasarkan asas kebebasan berkontrak, sesuai dengan Pasal 1320 jo. Pasal 1338 KUH Perdata. Selama tidak melanggar ketentuan hukum, para pihak bebas menambahkan klausul perlindungan, seperti pre-emptive rights, anti-dilusi, hak ikut dan tarik jual, ROFO, ROFR, hingga strategi keluar. Dengan adanya klausul ini, pemegang saham lokal dapat menjaga posisinya dan memastikan perusahaan tetap berjalan sesuai kepentingan bersama dan prinsip tata kelola yang baik. Telusuri Lebih Lanjut
Apa Perbedaan Perkumpulan dan Yayasan?
Perkumpulan dan Yayasan: Mana yang Memiliki Kedudukan Hukum Lebih Kuat? Dalam praktik hukum Indonesia, banyak pihak yang mempertanyakan apakah perkumpulan atau yayasan memiliki kedudukan hukum yang lebih kuat. Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu memahami terlebih dahulu karakteristik hukum masing-masing entitas. Apa Itu Yayasan dan Perkumpulan? Undang-Undang memberikan kedudukan hukum kepada yayasan dan perkumpulan berbadan hukum sebagai subjek hukum. Artinya, kedua entitas ini dapat melakukan tindakan hukum, memiliki hak dan kewajiban, serta dapat menggugat dan digugat di pengadilan. Namun, hanya perkumpulan atau yayasan yang telah berbadan hukum yang memperoleh kedudukan tersebut. Jika suatu perkumpulan tidak berbadan hukum, maka hukum tidak mengakui keberadaannya sebagai subjek hukum yang mandiri. Kedudukan Hukum: Yayasan vs Perkumpulan Yayasan dan perkumpulan berbadan hukum sama-sama memiliki kekuatan hukum. Keduanya tidak dapat dibubarkan secara sepihak oleh pendiri atau anggotanya, melainkan hanya dapat dibubarkan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dengan kata lain, baik yayasan maupun perkumpulan berbadan hukum memiliki kedudukan hukum yang sama kuat. Namun, perkumpulan yang tidak berbadan hukum tentu tidak dapat disamakan, karena tidak memiliki kapasitas hukum yang sah di hadapan negara. Apa yang Membedakan Yayasan dan Perkumpulan? Renie Aryandani menjelaskan bahwa baik yayasan maupun perkumpulan berbadan hukum wajib memiliki Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART). Dokumen tersebut memuat hak, kewajiban, tujuan, serta mekanisme pengelolaan organisasi. Isi Anggaran Dasar Yayasan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Yayasan menyatakan bahwa anggaran dasar yayasan wajib mencantumkan: Isi Anggaran Dasar Perkumpulan Berbadan Hukum (Ormas) Untuk organisasi kemasyarakatan (ormas) berbadan hukum, AD/ART memuat paling sedikit: Kesimpulan Baik yayasan maupun perkumpulan berbadan hukum memiliki kedudukan hukum yang sama kuat sebagai subjek hukum. Keduanya menjalankan perbuatan hukum, memiliki kekayaan sendiri, dan menikmati perlindungan hukum, Jika Anda memilih mendirikan organisasi tanpa badan hukum, maka Anda tidak akan menjadikan organisasi tersebut sebagai subjek hukum yang sah Anda sebaiknya memilih antara mendirikan yayasan atau perkumpulan sesuai dengan kebutuhan organisasi, tujuan sosial, dan struktur kepengurusan yang Anda rancang. Jika Anda mengutamakan kontrol tunggal dari pendiri, yayasan bisa menjadi pilihan. Jika Anda ingin membentuk organisasi secara kolektif dan demokratis, Anda sebaiknya memilih bentuk perkumpulan Telusuri Lebih Lanjut