Ketentuan Hukum Distribusi Barang di Indonesia
Distribusi barang memegang peran penting dalam kelancaran kegiatan perdagangan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (“UU Perdagangan”) telah mengatur secara rinci mengenai distribusi barang, baik secara langsung maupun tidak langsung, termasuk ketentuan distribusi alat kesehatan.
Pengertian Distribusi Barang
Pasal 1 angka 11 UU Perdagangan menjelaskan bahwa distribusi merupakan kegiatan penyaluran barang secara langsung atau tidak langsung kepada konsumen. Pelaku usaha distribusi bertanggung jawab untuk menyalurkan barang tersebut sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Bentuk Distribusi Barang Menurut UU Perdagangan
Pasal 7 ayat (1) UU Perdagangan menegaskan bahwa pelaku usaha dapat menyalurkan barang kepada konsumen secara langsung maupun tidak langsung. Kedua bentuk distribusi ini memiliki karakteristik dan mekanisme tersendiri.
1. Distribusi Tidak Langsung
Pelaku usaha yang menyalurkan barang secara tidak langsung wajib menggunakan rantai distribusi umum. Rantai tersebut terdiri atas:
- Distributor dan jaringannya, termasuk grosir/perkulakan dan pengecer.
- Agen dan jaringannya, juga mencakup grosir dan pengecer.
- Waralaba yang mengikuti pola distribusi yang telah diatur.
Produsen wajib menunjuk pelaku usaha sebagai distributor atau agen untuk mendistribusikan barang kepada pengecer, kecuali jika produsen tergolong usaha mikro, kecil, atau menjual barang yang mudah basi.
Selain itu, pengecer harus menggunakan sarana penjualan berupa toko atau sarana penjualan lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (1) PP Nomor 29 Tahun 2021 (“PP 29/2021”). Seluruh ketentuan distribusi tidak langsung ini dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 33 sampai Pasal 41 PP 29/2021.
2. Distribusi Langsung
Pelaku usaha mendistribusikan barang secara langsung melalui sistem penjualan langsung, baik single level maupun multilevel.
. Penjual langsung mendapatkan komisi atau bonus berdasarkan hasil penjualan kepada konsumen.
Perusahaan yang menggunakan sistem penjualan langsung wajib memenuhi syarat berikut:
- Memiliki hak distribusi eksklusif;
- Menyusun program pemasaran;
- Menerapkan kode etik perusahaan;
- Merekrut penjual melalui sistem jaringan;
- Menjual langsung kepada konsumen melalui jaringan tersebut.
Perusahaan harus memperoleh hak distribusi eksklusif melalui perjanjian atau kepemilikan merek. Selain itu, perusahaan dan penjual wajib membuat perjanjian tertulis yang menjabarkan hak dan kewajiban masing-masing. Pemerintah mengatur ketentuan lengkap mengenai distribusi langsung melalui Pasal 42 sampai Pasal 54 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2021.
Larangan dalam Kegiatan Distribusi Barang
PP 29/2021 juga menetapkan larangan tegas dalam kegiatan distribusi barang. Beberapa larangan tersebut meliputi:
- Produsen, distributor, dan grosir dilarang menjual secara eceran kepada konsumen;
- Agen dilarang mengalihkan hak atas fisik barang dari produsen atau importir;
- Pelaku distribusi tidak langsung tidak boleh menjual barang yang memiliki hak distribusi eksklusif;
- Importir dilarang mendistribusikan barang langsung ke pengecer, kecuali jika mereka juga bertindak sebagai distributor;
- Pengecer dilarang melakukan kegiatan impor barang.
Namun, Pasal 58 PP 29/2021 memberikan pengecualian bagi produsen berskala mikro dan kecil serta produsen barang mudah basi (tidak tahan lebih dari 7 hari). Mereka menjual barang langsung ke konsumen tanpa melibatkan distributor atau agen
Distribusi Alat Kesehatan Langsung ke Konsumen
Bila produsen bergerak di sektor alat kesehatan, maka perlu memperhatikan ketentuan dalam Permenkes Nomor 1191/Menkes/Per/VIII/2010. Penyaluran alat kesehatan hanya boleh dilakukan oleh:
- Penyalur Alat Kesehatan (PAK);
- Cabang PAK;
- Toko alat kesehatan;
- Apotek dan pedagang eceran obat, hanya untuk alat kesehatan tertentu dalam jumlah terbatas.
Produsen alat kesehatan dalam negeri yang ingin menyalurkan produknya secara langsung wajib memiliki izin sebagai PAK. Permenkes Nomor 26 Tahun 2018 mengatur tata cara, persyaratan, dan masa berlaku izin PAK. Kini, seluruh proses perizinan ini telah terintegrasi dalam sistem OSS (Online Single Submission).