Penjelasan dalam Undang-Undang
Penjelasan merupakan bagian penting dari struktur pembentukan undang-undang (UU). Tak hanya UU, penjelasan juga wajib disertakan dalam peraturan daerah (perda) baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Sementara itu, peraturan perundang-undangan lain seperti Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) tidak selalu menyertakan penjelasan.Penyusun peraturan hanya mencantumkan penjelasan jika memang membutuhkannya, karena sifatnya opsional.
Secara umum, penjelasan terdiri dari dua bagian utama: penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal.
- Penjelasan umum menjabarkan latar belakang, maksud, serta tujuan penyusunan suatu peraturan. Penjelasan ini merinci informasi yang secara singkat dituliskan dalam bagian “Menimbang”. Biasanya, penjelasan umum juga mencakup asas, tujuan, hingga materi pokok dari pasal-pasal awal.
- Penjelasan pasal demi pasal memberikan rincian atas setiap pasal yang termuat dalam batang tubuh UU. Jika suatu pasal atau ayat dianggap cukup jelas tanpa perlu keterangan tambahan, maka akan ditulis keterangan “cukup jelas.” Artinya, isi norma tersebut dianggap sudah bisa dipahami tanpa perlu elaborasi lebih lanjut.[1]
Fungsi Penjelasan dalam UU
Penjelasan dalam UU berperan sebagai tafsir resmi dari pembentuk UU, yaitu DPR dan Presiden.[2] Dengan demikian, penjelasan ini membantu menjelaskan makna yang terkandung dalam pasal-pasal batang tubuh.
Saat menyusun penjelasan, penyusun wajib memperhatikan beberapa batasan:[3]
- Penjelasan tidak boleh bertentangan dengan isi batang tubuh, juga tidak boleh menambah atau mengurangi makna normatifnya.
- Tidak boleh mengulang norma yang sudah ada di batang tubuh.
- Tidak boleh mencantumkan rumusan pendelegasian kewenangan.
Penjelasan harus memberi kejelasan terhadap istilah atau konsep dalam batang tubuh, seperti kata asing, frasa teknis, atau padanan hukum. Di samping itu, penjelasan juga dapat mencantumkan contoh konkret untuk memperjelas penerapan norma.
Contoh Penjelasan dalam UU
Berikut adalah contoh isi pasal dan penjelasan dalam UU No. 7 Tahun 2021 Pasal 8A ayat (1):
Isi Pasal:
“Wajib pajak menghitung PPN yang terutang dengan mengalikan tarif sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 dengan Dasar Pengenaan Pajak, yang mencakup Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lainnya.”
Penjelasan:
Contoh perhitungan tarif PPN:
- Seorang Pengusaha Kena Pajak menjual Barang Kena Pajak seharga Rp10 juta. Wajib pajak memungut PPN sebesar Rp1,2 juta (12% x Rp10 juta) dengan tarif 12%. Wajib pajak menyetorkan jumlah tersebut sebagai Pajak Keluaran.
- Seseorang mengimpor Barang Kena Pajak dengan nilai impor Rp10 juta.Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memungut PPN sebesar Rp1,2 juta (12% x Rp10 juta).
- Jika barang terkena tarif 0%, maka perhitungan tetap dilakukan namun tidak menghasilkan PPN terutang.