Pengertian dan Syarat-syarat Diskresi
Kami menyimpulkan bahwa kebijakan yang Anda maksud dalam pertanyaan merupakan suatu bentuk diskresi. Pejabat pemerintahan menetapkan dan/atau melakukan keputusan atau tindakan untuk mengatasi persoalan konkret dalam penyelenggaraan pemerintahan ketika peraturan perundang-undangan memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap, tidak jelas, dan/atau terjadi stagnasi pemerintahan. UU Administrasi Pemerintahan yang telah diubah dengan Perppu Cipta Kerja mendefinisikan tindakan tersebut sebagai diskresi.
Pejabat pemerintahan yang berwenang hanya boleh menggunakan diskresi dengan tujuan:
- melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
- mengisi kekosongan hukum;
- memberikan kepastian hukum; dan
- mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
Dalam menggunakan diskresi, pejabat wajib mengacu pada:
- ketentuan peraturan perundang-undangan yang meliputi:
- peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar kewenangan; dan
- peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan.
- asas-asas umum pemerintahan yang baik (“AUPB”).
Kemudian, pejabat pemerintahan juga harus memenuhi syarat-syarat diskresi berikut ini:
- sesuai dengan tujuan diskresi;
- sesuai dengan AUPB;
- berdasarkan alasan-alasan yang objektif yaitu berdasarkan fakta dan kondisi faktual, tidak memihak, dan rasional, serta berdasarkan AUPB;
- tidak menimbulkan konflik kepentingan; dan
- dilakukan dengan iktikad baik yaitu didasarkan atas motif kejujuran dan berdasarkan AUPB.
Pejabat pemerintahan menetapkan diskresi sebagai kebijakan ketika peraturan perundang-undangan tidak mengatur persoalan yang sedang dihadapi. Dalam kondisi tersebut, pejabat mengambil inisiatif melalui keputusan atau tindakan untuk mengatasinya. Pejabat yang menggunakan diskresi sesuai dengan kriteria dalam UU Administrasi Pemerintahan tidak melakukan penyimpangan.
Diskresi yang Dikategorikan sebagai Penyalahgunaan Wewenang
Dalam UU Administrasi Pemerintahan, larangan penyalahgunaan wewenang meliputi:
- larangan melampaui wewenang, yaitu ketika melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya wewenang, melampaui batas wilayah berlakunya wewenang, dan/atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
- Peraturan melarang pejabat bertindak sewenang-wenang, yaitu ketika pejabat melakukan tindakan tanpa dasar kewenangan dan/atau melanggar putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.
Demikian pula suatu diskresi dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang jika memenuhi kondisi-kondisi di atas. Penggunaan diskresi dikategorikan melampaui wewenang jika:
- melampaui batas waktu berlakunya wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan;
- melampaui batas wilayah berlakunya wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan; dan/atau
- tidak sesuai dengan prosedur penggunaan diskresi sebagaimana diatur dalam Pasal 26 s.d. Pasal 28 UU Administrasi Pemerintahan.
Penggunaan diskresi dianggap mencampuradukkan wewenang jika diskresi digunakan tidak sesuai dengan tujuan wewenang yang diberikan, tidak sesuai Pasal 26 s.d. Pasal 28 UU Administrasi Pemerintahan, dan/atau bertentangan dengan AUPB. Sedangkan, menggunakan diskresi dianggap sebagai tindakan sewenang-wenang jika dikeluarkan oleh pejabat yang tidak berwenang.
Pejabat yang menggunakan diskresi secara melampaui wewenang atau secara sewenang-wenang membuat tindakannya menjadi tidak sah. Sementara itu, jika pejabat mencampuradukkan wewenang dalam penggunaan diskresi, maka pihak yang berwenang dapat membatalkan diskresi tersebut.
Jika terdapat indikasi adanya penyalahgunaan wewenang dalam penggunaan diskresi, maka pengadilan tata usaha negara (“PTUN”) berwenang untuk memeriksa dan memutus ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang.
Kemudian, menurut Pasal 2 ayat (1) PERMA 4/2015, PTUN menerima, memeriksa, dan memutus permohonan penilaian ada atau tidak ada penyalahgunaan wewenang sebelum adanya proses pidana.
Kapan Diskresi Dianggap sebagai Korupsi?
Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memuat salah satu bentuk penyalahgunaan wewenang dalam ranah pidana, sebagaimana Anda singgung dalam pertanyaan. jo. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 (hal. 116-117) yang berbunyi:
Orang yang bermaksud menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi lalu menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang melekat pada jabatannya dan menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian negara, akan menghadapi pidana berupa penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, serta denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Administrasi Pemerintahan
Dalam perspektif hukum administrasi, Pasal 20 UU Administrasi Pemerintahan mengatur tentang penyalahgunaan wewenang yaitu ketika aparat pengawasan intern pemerintah (“APIP”) menemukan kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara, maka mereka harus melakukan pengembalian kerugian keuangan negara paling lama 10 hari kerja sejak keputusan dan penerbitan hasil pengawasan.
Badan pemerintahan menanggung pengembalian kerugian negara jika kesalahan administratif terjadi tanpa unsur penyalahgunaan wewenang. Namun, jika pejabat melakukan kesalahan administratif yang mengandung unsur penyalahgunaan wewenang dan menyebabkan kerugian negara, maka pejabat tersebut wajib mengembalikan kerugian negara.
Sementara itu, jika pejabat pemerintah menyalahgunakan wewenangnya dalam penggunaan diskresi, maka penegak hukum dapat menjerat pejabat tersebut dengan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal terkait.. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 tentang tindak pidana korupsi, jika memenuhi unsur pasal berikut ini:
- setiap orang (perseorangan atau korporasi);
- dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
- menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
- yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;
- merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Penyalahgunaan Kewenangan dan Diskresi
Menurut M. Irsan Arief dalam buku Benang Merah Penyalahgunaan Kewenangan dan Diskresi; Antara Hukum Administrasi dan Hukum Pidana/Korupsi, perbedaan antara Pasal 20 UU Administrasi Pemerintahan dengan Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor jo. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 adalah pada unsur “dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi”. Jika unsur ini terpenuhi, maka perbuatan yang awalnya masuk ranah administrasi, berubah menjadi ranah tindak pidana korupsi (hal. 61).
Lebih lanjut,M. Irsan Arief menjelaskan bahwa secara normatif dan menurut teori hukum, pelaku memenuhi unsur “dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi” ketika ia secara sengaja melakukan perbuatan dengan maksud tertentu. Dalam hal ini, pelaku secara sadar melakukan perbuatan untuk memperoleh keuntungan bagi diri sendiri, orang lain, atau korporasi, sehingga kesalahan terletak pada kesengajaan pelaku dalam mencapai tujuan tersebut.. Hal ini juga menunjukkan maksud jahat atau mens rea pelaku (hal. 61 – 62).
Kesimpulannya, pelaku sudah menunjukkan karakteristik dominan dari pemenuhan unsur ini sejak sebelum atau saat mempersiapkan pelaksanaan kewenangannya. Pelaku secara aktif berupaya memperoleh keuntungan, baik dengan menjanjikan pemberian setelah pekerjaan berjalan atau selesai, maupun dengan menerima keuntungan terlebih dahulu sebelum melaksanakan kewenangannya. (hal. 62).
Resiko Pejabat Tidak Mendapat Untung
M. Irsan Arief menjelaskan bahwa meskipun pelaku telah mengembalikan kerugian keuangan negara, pelaku tetap bertanggung jawab secara pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 20 UU Administrasi Pemerintahan. Ia menegaskan bahwa jika seseorang memperoleh keuntungan dari penyalahgunaan wewenang yang menyebabkan kerugian keuangan negara, maka orang tersebut telah melakukan tindak pidana korupsi. Namun, jika kerugian keuangan negara itu merupakan risiko di mana pejabat tidak mendapat keuntungan, maka termasuk dalam ranah administrasi (hal. 62 – 63).
Namun, jika pejabat tersebut sengaja menyalahgunakan wewenangnya dan menyebabkan kerugian keuangan negara, maka penegak hukum dapat menjerat pejabat itu dengan pasal tindak pidana korupsi, karena ia memenuhi unsur kesengajaan.
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, Pelajari Lebih Lanjut